KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat , karunia dan hidayahnya kepada kita semua sehingga
akhirnya tugas karya tulis ini dapat terselesaikan. Shalawat serta
salam senantiasa tercurah pada Nabi Muhammad SAW beserta para
pengikutnya yang setia menemani hingga akhir zaman.
Tugas karya tulis yang diberi judul
“tahammul wa ada al-hadits” ini ialah suatu karya tulis yang terbentuk
dari hasil kerja yang baik, dimana tugas ini merupakan prasyarat dari aspek
penilaian mata pelajaran Ilmu Hadits.
Dalam penyelesain karya tulis ini ,
penulis banyak mengalami kesulitan , terutama disebabkan oleh kurang
spesifiknya informasi yang didapatkan penulis karena hanya mengandalkan
pengamatan dilingkungan sekitar sebagai bahan penyusun karya tulis. Pada
akhirnya karya tulis ini dapat diselesaikan meskipun masih terdapat banyak
kekurangan.
Penyusunan karya tulis ini tak lepas
dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan
ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Zubaidah
Semoga Allah SWT selalu mencurahkan
rahmat dan karunia-Nya serta keridhoan-Nya kepada kita semua , amin.
Penulis menyadari bahwa tugas karya
tulis ini masih banyak memiliki kekurangan.Oleh karena itu segala saran dan
kritik yang membangun , penulis harapkan untuk kemajuan masa-masa mendatang.
Harapan penulis semoga penulis tugas
karya tulis ini dapat diambil manfaatnya oleh pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
………………………………………………………………..…….......1
Daftar Isi ……………………………………………………………………….…….2
BAB I. Pendahuluan …………………………………………………………………3
1.1 LatarBelakang…………………………………………………..……....................3
1.2 Tujuan Penulis …………………………………………………...........................4
1.3 Rumusan Masalah………………………………………………............................4
1.4 Sumber Data ……………………………………………………...........................4
BAB II. Pembahasan dan Isi …………………………………………………………5
2.1. Definisi tahammul wa ada al-hadits ……….………………………... ................5
2.2. Syarat-syarat penerimaan hadits dan penyampaiannya ...……………………......5
2.3. metoode penerimaan hadits dan penyampaiannya. ...……………........................7
2.4. Periwayatan Hadits: Antara bi al-Lafzh dan bi al-Ma’na.......................................8
Daftar Isi ……………………………………………………………………….…….2
BAB I. Pendahuluan …………………………………………………………………3
1.1 LatarBelakang…………………………………………………..……....................3
1.2 Tujuan Penulis …………………………………………………...........................4
1.3 Rumusan Masalah………………………………………………............................4
1.4 Sumber Data ……………………………………………………...........................4
BAB II. Pembahasan dan Isi …………………………………………………………5
2.1. Definisi tahammul wa ada al-hadits ……….………………………... ................5
2.2. Syarat-syarat penerimaan hadits dan penyampaiannya ...……………………......5
2.3. metoode penerimaan hadits dan penyampaiannya. ...……………........................7
2.4. Periwayatan Hadits: Antara bi al-Lafzh dan bi al-Ma’na.......................................8
BAB III. Penutup
…………………………………………………………………….16
a. Simpulan ………………………………………………………………...................16
b. daftar pustaka ………………………………………………………………………17
a. Simpulan ………………………………………………………………...................16
b. daftar pustaka ………………………………………………………………………17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penghimpunan
dan periwayatan hadits tidak bersifat konvensional, tetapi dihimpun dan
diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya berdasarkan
kaidah-kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan diterima,
kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat rumit yang telah
ditetapkan oleh ulama, dan yang mereka jelaskan secara lengkap di dalam
buku-buku Ushulul Hadits.
Ulama tidak meninggalkan sesuatu pun yang
berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW kecuali mereka jelaskan. Sampai-sampai
ada di antara mereka yang mengatakan: Ilmu-ilmu hadits itu telah matang sampai
terbakar, karena banyaknya pengabdian dan perhatian serius ulama.
Untuk memahami ilmu hadits ulama telah memberikan
kontribusi yang besar dalam menyusun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh besar
terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para
perawi hadits. Yang disusun oleh ulama dalam bentuk beragam karya sampai
masing- masing ilmu bisa berdiri sendiri. Ilmu-ilmu itu tumbuh dalam waktu yang
hampir bersamaan dan saling berkaitan.
Adapun terma-terma yang dibuat oleh ulama sebagai
hasil penerapan ilmu-ilmu itu dan kaidah-kaidahnya serta hasil dan
pengklasifikasian mereka terhadap hadits menjadi shahih, hasan, dha’if dan
jenis-jenisnya, seperti mursal, mauquf, maqtu’ dan lain-lain.
Adapun salah satu ilmu yang sangat penting yang
memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan
pengenalan terhadap para perawi hadits adalah tahammul wa ‘ada’ul hadist yang
akan kita bahas dalam makalah ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam studi periwayatan
hadist, persoalan bentuk periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini
karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan
suatu hadist. Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadist harus dengan
lafadz (teks) yang persis disampaikan Nabi SAW ataukah cukup dengan maknanya
saja, menjadi isu penting dikalangan ulama hadist. Dalam makalah ini Insya
Allah, penulis juga akan mengupas seputaran periwayatan suatu hadits.
Untuk
mengetahui lebih mendalam mengenaihal
tersebut, penulis menyusun sebuah
makalah yang berujudul, “BENDA-BENDA DI BUMI INI DAN SISTEM PEREDARAN DARAH
MANUSIA”
1.2 Tujuan Penulisan
Pada dasarnya tugas ini dibuat sebagai wujud dari
pertanggung jawaban kami atas tugas yang diberikan oleh guru pengampu
sebagai syarat untuk memenuhi aspek penilaian mata pelajaran Ilmu
Hadits.
Selain
itu tugas ini juga ditujukan untuk :
1.
Mengetahui apa itu tahammul
al-hadits
2.
Dan dapat hal yang menyangkut
dengannya.
1.3 Rumusan masalah
1. Apakah definisi dari tahammul wa ada al-hadits ?
2. Apa saja syarat-syarat penerimaan hadits dan penyampaiannya ?
3. Apa saja metode penerimaan hadits dan penyampaiannya ?
4. Bagaimana Periwayatan Hadits: Antara bi
al-Lafzh dan bi al-Ma’na ?
1.4 Sumber Data
1.4.1 Tinjauan pustaka tentang
kenakalan remaja melalui web internet
1.4.2 Pengamatan di Lingkungan
sekitar
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Tahammul wa al-Ada’
Tahammul adalah menerima dan
mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan
beberapa metode penerimaan hadits.[1] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib memberikan
defenisi dengan kegiatan menerima dan mendengar hadits.[2] Jadi tahammul
adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan
metode-metode tertentu.
Al-‘Ada
adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadits.[3] Menurut Nuruddin
‘Itr adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang
lain.[4] Jadi al-‘ada adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits.
2.2. Syarat Penerima
Hadits dan Penyampaiannya
1.
Kelayakan Tahammul
Mayoritas ulama cendrung
membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang
mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Sahabat,
tabi’in dan ahli ilmu setelah mereka menerima riwayat sahabat yang masih
berusia anak-anak, seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn az-Zubair, Anas
ibn Malik, Abdullah ibn Abbas, Abu Sa’id al-Khudriy, Mahmud ibn ar-Rabi’ dan
lain-lain tanpa memilah-milah antara riwayat yang mereka terima sebelum dan
sesudah baligh.[5]
Dalam
perbedaan pendapat para ulama tersebut Dr. Nuruddin ‘Itr menyimpulkan bahwa
pokok kecakapan dan keahlian menerima hadits menurut jumhur adalah tamyiz yaitu
suatu kemampuan yang menjadikan seseorang dapat memahami dan hafal terhadap apa
yang didengarnya.[6]
Mereka yang
memperbolehkan kegiatan mendengar hadits yang dilakukan oleh anak kecil,
berbeda pendapat tentang batas usianya. Karena hal itu tergantung pada masalah
tamyiz dari anak kecil itu. Tamyiz ini jelas berbeda-beda antar
masing-masing anak kecil. Namun demikian mereka memberikan keterangan
bersamaan dengan pendapat mereka. Banyak di antara mereka yang telah berusaha
keras untuk menjelaskannya. Dan kita bisa meringkas penjelasan itu ke dalam
tiga pendapat:[7]
Pertama,
bahwa umur minimalnya adalah lima tahun. Hujjah yang digunakan oleh pendapat
ini adalah riwayat Imam Bukhari dalam Shahihnya dari hadits Muhammad ibn
ar-Rabi’ ra, katanya : “Aku masih ingat siraman Nabi SAW dari timba ke mukaku,
dan aku (ketika itu) berusia lima tahun.”
Kedua,
pendapat al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar
yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan
antara sapi dengan himar. Saya merasa yakin bahwa yang beliau maksudkan adalah
tamyiz. Beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan kehidupan di sekitar.
Ketiga,
keabsahan kegiatan anak kecil dalam mendengar hadits didasarkan pada adanya
tamyiz. Bila anak telah memahami pembicaraan dan mampu memberikan jawaban, maka
ia sudah mumayyiz dan absah pendengarannya, meski usianya di bawah lima tahun.
Namun bila ia tidak memahami pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban,
maka kegiatannya mendengar hadits tidak absah, meski usianya di atas lima
tahun.
Mengenai
penerimaan hadits bagi orang kafir dan orang fasik, jumhur ulama menganggap
sah, asalkan hadits tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka
telah masuk Islam dan bertobat. Alasan yang mereka kemukakan adalah banyaknya
kejadian yang mereka saksikan dan banyaknya sahabat yang mendengar sabda
Rasulullah sebelum mereka masuk Islam. Salah satu sahabat yang mendengar sabda
Rasululllah sebelum masuk Islam adalah Zubair. Dia pernah mendengar Rsulullah
membaca surat Ath-Thur pada waktu sholat maghrib ketika dia tiba di Madinah
untuk menyelesaikan urusan perang Badr. Pada saat itu, dia dalam keadaan masih
kafir. Akhirnya dia massuk Islam, bila penerimaan hadist oleh orang kafir yang
disampaikannya setelah memeluk Islam dapat diterima, maka sudah tentu
penerimaan hadits oleh orang fasik yang diriwayatkannya setelah dia bertobat
dianggap sah.[8]
2.
Kelayakan Ada’
Mayoritas
ulama hadits, ulama ushul dan ulama fiqh sependapat bahwa orang yang riwayatnya
bisa dijadikan hujjah, baik laki-laki maupun wanita, harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:[9]
a.
Islam
Sehingga tidaklah
diterima riwayat orang kafir, berdasarkan ijima’ ulama, baik diketahui agamanya
tidak memperbolehkan dusta ataupun tidak dan sangat tidak logis bila riwayatnya
diterima. Sebab menerima riwayatnya berarti membiarkan caciannya atas kaum
muslimin. Bagaimana mungkin riwayat perusak Islam bisa diterima? Di samping
itu, Allah SWT juga memerintahkan kita untuk mengecek berita yang dibawa oleh
orang fasik, melalui firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ
بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى
مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (الحجرات:6(
Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita
maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu. (Qs. al-Hujurat: 6)
Bila terhadap
berita yang dibawa orang fasik saja seperti itu, maka terhadap berita yang
dibawa orang kafir tentu kita harus menolaknya.
b.
Baligh
Ini
merupakan pusat taklif, karena itu riwayat anak yang berada di bawah usia
taklif tidak bisa diterima, sebagai penerapan sabda Rasulullah yang
diriwayatkan oleh Abu Daud.
رفع القلم عن ثلاث عن المجنون حتى يفيق ,وعن النائم
حتى يستيقظ ,وعن الصبي
حتى يحتلم (رواه ابو
داود)
Terangkat
pena dari tiga orang: dari orang gila sampai sembuh, dari orang yang tidur
sampai terbangun dan dari anak kecil sampai mimpi basah. (HR. Abu Daud)
Ulama
mengecualikan penerimaan riwayat dari anak di bawah usia baligh, karena
khawatir akan kedustaannya. Karena kadang-kadang ia berdusta disebabkan tidak
mengerti dampak dan siksaan perbuatan dusta itu. Di samping itu, tidak ada yang
membuatnya takut untuk melakukannya. Sehingga baligh merupakan standarisasi
adanya kemampuan berakal dan pusat taklif yang membuat seseorang jera untuk
berbuat dusta dan menghalanginya untuk melakukannya. Kemudian, syara’ juga
tidak memberikan kekuasaan bagi anak kecil dalam masalah keduniaannya, apalagi
dalam masalah agama karena menerima periwayatannya berarti mengabulkan atau
memberikan kekuasaan padanya terhadap segenap kaum muslimin.
c.
Sifat Adil
Ia merupakan
sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa
bertakwa dan memelihara harga diri. Sehingga jiwa kita akan percaya akan
kejujurannya. Menjauhi dosa besar, termasuk ke dalamnya menjauhi sebagian dosa
kecil, seperti mengurangi timbangan sebiji, mencuri sesuap makanan, serta
menjauhi perkaraperkara mubah yang dinilai mengurangi harga diri, seperti
makan di jalan, buang air kecil di jalan, berteman dengan orang-orang keji dan
terlalu berlebihan dalam berkelakar.
d.
Dhabt
Dhabtu
adalah:[10]
تيقظ الراوي حين تحمله وفهمه لما سمعه وحفظه لذالك من
وقت التحمل الي وقت اداء
“Teringat
kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang ia dengar dan
hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikan”
Yaitu
keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadits dan memahaminya ketika
mendengarnya serta menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya kepada
orang lain. Dhabt mencakup hafalan dan tulisan. Maksudnya, seorang perawi
harus benar-benar hafal bila ia meriwayatkan dari hafalannya, dan memahami
tulisannya dari adanya perubahan, penggantian, atau pengurangan bila
ia meriwayatkan dari tulisannya.
Cara
mengetahui kedhabitan seorang perawi adalah dengan membandingkan haditsnya
dengan hadits perawi-perawi lain yang tsiqqat, dhabit dan teguh. Bila ia
sejalan dengan mereka dalam hal riwavat pada umumnya meski hanya dari segi
makna, maka ia dinilai dhabit. Tidak masalah bila ada sedikit perbedaan. Namun
bila banyak berbeda dan sedikit kesamaan, maka kedhabitannya cacat, dan
haditsnya tidak bisa digunakan sebagai hujjah. [11]
2.3. Metode Penerimaan Hadits dan
Penyampaiannya[12]
a.
As-Sima’, (السماع,
mendengar), yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan ataupun dari
kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imla’ ataupun untuk
yang lain. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada di peringkat tertinggi.
Ada juga yang berpendapat, bahwa mendengar dari seorang guru disertai dengan
menuliskan darinya lebih tinggi daripada mendengar saja. Sebab sang guru sibuk
membacakan hadits, sedang sang murid menulis darinya. Sehingga keduanya lebih
terhindar dari kelalaian dan lebih dekat kepada kebenaran.
Menurut
M.M.Azami metode as-sama’ ini ada beberapa bentuk:[13]
a.
Penyampaian hadist secara lisan oleh guru
b.
Pembacaan dari kitab
c.
Tanya-Jawab
d.
Dikte
Cara
as-sama’ ini tinggi nilainya, sebab lebih meyakinkan tentang terjadinya
pengungkapan riwayat.[14] Istilah atau kata yang dipakai dalam metode ini:
سمعت ، سمعنا ، حدثنا ، حدثني ، أخبرنا ، أخبرني.
Bobot kualitas penggunaan kata-kata ini tidak disepakati oleh ulama, menurut
al-Khatib al-Baghdadi (w 463H/1072 M), kata yang tertinggi adalah kemudian
حدثنا ، حدثني. Alasannya
adalah kata menunjukkan kepastian periwayat mendengar secara langsung
hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan menurut Ibn Shalah (w 643-1245M) kata
حدثنا ، حدثني disatu sisi dapat saja lebih tinggi
kualitasnya daripada سمعنا سمعت , karena
kata bias berarti guru hadist, tidak khusus menghadapkan riwayatnya
kepada penerima riwayat yang menyatakan sami’tu tadi. Seangkan kata أخبرني,
حدثني memberi petunjuk bahwa guru hadits
menyampaikan dan menghadapkan riwayatnya kepada periwayat yang menyatakan
أخبرني, حدثني tersebut.[15]
Kata Kana,
Yakulu, Fa’la, Haddatsa, Zakara, Qala Fulan, atau yang serupa dengannya
diperselisihkan dalam penggunaannya oleh ulama. Sebagian ulama berpendapat
cara-cara tersebut menunjukkan periwayatan secara as-sima’. Sebagian lagi
berpendapat kata-kata tersebut menunjukkan cara as-sima’ bila di dalamnya tidak
terdapat penyembunyian cacat (tadlis) oleh periwayat yang menggunakan kata-kata
dimaksud, pendapat yang terakhir ini menyamakan cara tersebut dengan penggunaan
kata ‘an.[16]
b.
Al-Qira’ah ‘ala asy-Syaikh (القرأة علي
الشيخ, membaca di hadapan guru). Sebagian besar
ulama hadits menyebutnya al-‘Aradh (penyodoran). Ada juga menyebutnya’عرض القرأة (menyodorkan
bacaan). Karena murid menyodorkan bacaannya kepada sang guru, seperti ketika ia
menyodorkan bacaan al-Qur’an kepada gurunya. Yang dimaksud adalah seorang
membaca hadits di hadapan guru, baik dari hafalannya ataupun dari kitabnya yang
telah diteliti sedang guru memperhatikannya atau menyimaknya baik dengan
hafalannya atau dari kitab asalnya ataupun dari naskah yang digunakan untuk
mengecek dan yang telah diberi kepercayaan olehnya, misalnya beberapa orang yang
masing-masing memiliki satu naskah yang telah diteliti yang semuanya mendengar
dari orang yang membaca di hadapan guru. Imam Haramain menyaratkan seorang guru
harus meluruskan bila pembaca mengalami kekeliruan atau kesalahan. Bila tidak,
maka tahammulnya tidak absah. ‘Ardh ini merupakan praktik yang paling umum
sejak awal abad keduaMayoritas ulama memperbolehkan metode ini. Namun
diriwayatkan pula, ada sebagian mereka yang tidak memperbolehkan menerimanya.
Sandaran ulama dalam memperbolehkan metode ini adalah hadits Dhammam ibn
Tsa’labah, bahwa is berkata kepada Rasulullah SAW :
“Apakah
Allah memerintahkan kepadamu untuk melakukan sholat lima waktu?” Beliau
menjawab : “Benar.” Mereka mengatakan : Itu adalah bacaan di hadapan Nabi SAW.
Dhammam membcakan khabar tentang hal itu kepada kaumnya, lalu mereka
memperbolehkannya.
Lafadz-lafadz
yang digunakan dalam metode ini adalah عليه قرأت،
حدثنا او اخبرنا قرأة عليه ، قرئ علي فلان و انا اسمع [17]
c.
al-Ijazah (الأجازة,
sertifiksi atau rekomendasi)
Yaitu seorang
guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadist atau kitab
kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun sang murid tidak
membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti: أجزت لك أن
نروي عني (aku mengijazahkan kepadamu untuk kamu
riwayatkan dariku). [18]
Ulama
mutaqaddimin tidak memperbolehkan metode ijazah tanpa kriteria dan
syarat. Tetapi mereka memberikan persyaratan bahwa seorang ahli hadits harus
mengenal betul apa yang akan diijazahkannya, naskah yang ada pada murid harus
dibandingkan dengan-naskah aslinya sampai benar-benar sama dan yang meminta
ijazah ahli ilmu dan telah memiliki posisi dalam hal keilmuan, sehingga tidak
akan terjadi peletakan ilmu tidak pada tempat atau ahlinya. Ada riwayat yang mengukuhkan
hal ini dari sebagian besar ulama mutaqaddimin, semisal al-Hasan al-Bashriy,
Ibn Syihab az-Zuhriy, Makhtil, Abban ibn ‘Iyasy, Ibn Juraij, Imam Malik dan
lain-lain. Semuanya memperbolehkan mengamalkan ijazah dan mmyingkirkan segala
sesuatu yang menghalanginya. Menurut ulama mutaqaddimin ijazah hanya
diperbolehkan bagi kalangan tertentu dari para pengikut hadits yang berstatus
tsiqat, dan hadits yang diijazahkan juga tidak lebih dari beberapa hadits, atau
juz’ atau kitab.
Ijazah
memiliki beberapa jenis. Yang tertinggi adalah seorang guru membawa kitab atau
beberapa kitab riwayatnya, lalu berkata kepada murid: “Kitab ini atau
kitab-kitab ini saya dengar dan Fulan, dan Aku mengijazahkan kepadamu untuk
meriwayatkannya dariku”. Inilah yang mereka sebut dengan Ijazah dari guru
tertentu, kepada murid tertentu dan mengenai kitab tertentu pula. Sebagian
ulama menyebutkan delapan jenis ijazah. Bahkan ada yang menyebutkannya sampai
Sembilan jenis.
d.
Al-Munawalah (المناوله)
Maksudnya,
seorang ahli hadits memberikan sebuah sebuah naskah asli kepada muridnya atau
salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.[19] M. ‘Ajaj al-Khatib
memberikan defeni seorang guru memberikan beberapa hadits atau sebuah kitab
kepada muridnya agar sang murid meriwayatkannya darinya.[20] Misalnya,
seorang guru memberikan sebuah kitab kepada muridnya seraya berkata : Inilah
haditsku, atau inilah riwayat-riwayat yang kudengar, tanpa mengatakan:
Riwayatkanlah ini dariku, atau aku memperbolehkanmu (untuk meriwayatkannya
dariku). Sebagian ulama memperbolehkan metode ini. sementara sebagian yang lain
tidak memperbolehkannya. Tak ada silang pendapat di kalangan mayoritas ulama
ahli hadits dalam menerima munawalah ini. Bahkan ada yang menjadikan
“Al-Munawalah Al-Magrunah bi Al-Ijazah” setingkat dengan as-Sima’. Namun yang
benar menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, ia tetap berada di bawah tingkat
as-Sima’ dan al-Qira’ah. Al-Qadhiy ‘Iyadh dan al-’Iraqiy juga mengutip adanya
kesepakatan ahli hadits dalam menerima metode munawalah ini. Tak seorang pun
yang diriwayatkan menyebut silang pendapat, seperti halnya dalam ijazah.
Lafadz yang
digunakan dalam Al-Munawalah Al-Magrunah bi Al-Ijazah adalah. أنباء نا ، أ
نبأني Sedangkan yang dipakai dalam Al-Munawalah Al-Magrunah
bila Al-Ijazah adalah نا و لني ، ناولنا [21]
Hujjah yang
digunakan ulama dalam memperbolehkan metode munawalah adalah hadits Rasulullah
SAW bahwa beliau berkirim surat kepada panglima perang, seraya bersabda :
Jangan kamu baca kecuali setelah sampai di tempat ini. Dan ketika sampai di
tempat yang dimaksud, ia membacanya dan memberitahukan kepada orang-orang
tentang apa yang diperintahkan Nabi.
e.
Al-Mukatabah (المكتبه)
Yaitu
seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis
darinya sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau murid
yang berada di tempat lain lalu guru itu mengirimkannya kepada sang murid
bersama orang yang bisa dipercaya. Mukatabah ini memiliki dua bagian Pertama,
disertai dengan ijazah. Misalnya guru menulis beberapa hadits untuk sang murid
seraya memberikan ijazah kepadanya. Jenis ini setara dengan munawalah yang
disertai dengan ijazah dalam keshahihan dan kekuatan.[22] Lafadz yang
digunakan adalah أجزت لك ما كتبته اليك [23]
Kedua, tanpa
disertai dengan ijazah. Lafadz yang digunakan adalah قال حدثنا
فلان ، حدثني فلان كتابة ، أخبرني فلان كتابة ، كتب الي فلان [24]
Ada
sekelompok ulama yang melarang meriwayatkan darinya. Namun pendapat yang shahih
memperbolehkannya. Pendapat terakhir ini dipilih oleh mayoritas ulama
mutaqaddimin dan muta’akhkhirin.
f.
I’lam asy-Syeikh (اعلم الشيخ)
Maksudnya
seorang syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab
tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan telah didengamya atau
diambilnya dari seseorang. Atau perkataan lain yang senada, tanpa menyatakan
secara jelas pemberian ijazah kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Meski
dengan pemberitahuan seperti itu saja, sebagian besar ulama memperbolehkan meriwayatkannya.
Mereka menilai bahwa pemberitahuan semacam itu sudah mengandung pengertian
pemberian ijin atau ijazah dari guru kepada murid untuk meriwayatkan darinya.
Mereka juga menilai, bahwa kejujuran dan keterpercayaan sang guru tidak
memungkinkannya mengaku mendengar apa yang tidak didengarnya. Pemberitahuannya
kepada muridnya menunjukkan keridhaannya untuk menerima dan meriwayatkannya.
Inilah pendapat yang dipegangi oleh mayoritas ulama mutaqaddimin, seperti Ibn
Juraij, juga mayoritas ulama muta’akhkhirin.
Menurut M. ‘Ajaj
al-Khatib, ia tidak menemukan seorang pun yang menerima riwayat dengan cara ini
pada masa-masa terdahulu selain Ibn Juraij dan yang menerima dengan cara itu
harus menjelaskannya sewaktu menyampaikan. Misalnya mengatakan: Fi Ma A’lamani
Syaikhi, atau ungkapan lain yang senada. [25]
g.
A I- Washiyyah (الوصيه)
Yaitu
seorang guru berwasiat, sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal, agar
kitab riwayatnya diberikan seorang untuk boleh meriwayatkan darinya.
Bentuk ini merupakan bentuk tahammul yang amat langka. Ulama muta’akhkhirin
menghitungnya dalam jajaran metode tahammnul dengan dasar riwayat dari
sebagian ulama salaf tentang wasiat kitab-kitab mereka sebelum mereka wafat.
Salah satunya adalah riwayat bahwa Abu Qilabah Abdullah ibn Zaid al-Jirmiy
mewasiatkan kitab-kitabnya untuk Ayyub as-Sakhtiyani (68-131 H), lalu
kitab-kitab itu didatangkan kepada Ayyub yang jumlah sebanyak muatan kendaraan
unta. Ayub juga memberikan upah pengangkutannya.[26]
Penyampaian
riwayat yang diterima dengan cara wasiat menurut yang memperbolehkannya adalah
dengan menjelaskan hal itu sewaktu menyampaikannya. Misalnya perawi
mengatakan: Telah mewasiatkan kepadaku Fulan, mengatakan telah memberikan
khabar kepadaku Fulan dengan cara wasiat, atau saya menemukan dalam wasiat
Fulan kepadaku, bahwa Fulan meriwayatkan kepadanya begini-begini. Ternyata kami
tak menemukan seorang pun dari ulama mutaqaddimin yang meriwayatkan dengan
cara wasiat.
h.
Al-Wijadah (الوجده, penemuan)
Kata
al-Wijadah dengan kasrah wawu merupakan konjugasi dari kata Wajada-Yajidu,
bentuk yang tidak analogis. Ulama hadits menggunakannya dengan pengertian ilmu
yang diambil atau didapat dari shahifah tanpa ada proses mendengar,
mendapatkan ijazah ataupun proses munawalah. Misalnya, seseorang menemukan
kitab hasil tulisan orang semasanya dan telah mengenal dengan baik tulisannya
itu, baik ia pernah bertemu atau tidak, atau hasil tulisan orang yang tidak
semasanya tapi ia merasa yakin bahwa tulisan itu benar penisbatannya kepada
yang bersangkutan melalui kesaksian orang yang bisa dipercaya atau kepopuleran
kitab itu ataupun dengan sanad yang ada pada kitab itu ataupun melalui sarana
lainnnya yang mengukuhkan penisbatannya kepada yang bersangkutan. Bila ia telah
merasa yakin melalui sarana-sarana itu, maka ia boleh meriwayatkan isi yang
dikehendakinya dalam bentuk menceritakan, bukan dalam bentuk mendengar. Ada
riwayat akurat dari sebagian ulama salaf, bahwa mereka meriwayatkan dari
shahifah-shahifah dan kitab-kitab, namun demikian periwayatan dengan metode
wijadah ini pada masa klasik amat langka. Karena mayoritas mereka sangat
mengutamakan periwayatan secara langsung melalui mendengar atau menyodorkan
kitab. Bahkan sebagian besar ulama salaf mencela mereka yang meriwayatkan dari
shahifah-shahifah. Sehingga sangat populer di kalangan mereka ungkapan: “Jangan
kalian membaca al-Qur’an dari orang-orang yang mempelajarinya dari mushhaf saja
dan jangan menerima ilmu dari orang-orang yang menerimanya dari
shahifah-shahifah.” Bahkan ada di antara mereka yang, menilai dha’if
periwayatan dari kitab-kitab.[27] Lafadz yang digunakan وجدت بخط
فلان atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه
2.4. Periwayatan Hadits: Antara bi
al-Lafzh dan bi al-Ma’na
Sebelum terhimpun dalam
kitab-kitab hadist, hadist Nabi terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan
yang dinamai dengan riwayatul hadist atau al-riwayah, yang dalam bahasa
Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan.[28] Kata al-riwayah
adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql (penukilan),
al-zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan
al-istoqa’ (pemberian minum sampai puas). Sementara sesuatu yang
diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.[29]
Sementara
secara istilah ilmu hadist, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan
al-riwayah adalah: “Kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta
penyandaran hadist itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk
tertentu. Orang yang telah menerima hadist dari seorang periwayat, tetapi dia
tidak menyampaiakan hadist itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut
sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadist. Sekiranya orang tersebut
menyampaiakan hadist yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika
menyampaikan hadist itu tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka
orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan
periwayatan hadist”.
Dari
definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam
periwayatan hadist Nabi, yaitu: (1) orang yang melakukan periwayatan hadist
yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy (periwayat), (2) apa yang
diriwayatkan (al-marwiy), (3) susunan rangkaian pera periwayat (sanad/isnad),
(4) kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan,
dan (5) kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadist
(at-tahamul wa ada al- Hadist).
Dari uraian
di atas dapat dipahami bahwa salah satu tugas perawi adalah menjelaskan bentuk
tahammul yang digunakan untuk menerima apa yang diriwayatkannya. Kita juga
mengenal semangat dari ulama hadits terhadap hal itu. Di samping bersemangat
menjelaskan bentuk tahammul hadits sewaktu menyampaikannya, ulama juga
bersemangat untuk menyampaikan hadits persis seperti yang mereka dengar tanpa
penggantian dan perubahan sedikit pun. Sebagian ahli hadits, ahli fiqh dan ahli
ushul bersikap ketat. Mereka mewajibkan periwayatan hadits dengan lafadz, dan
tidak memperbolehkan periwayatan dengan makna sama sekali. Mayoritas ulama
cenderung berpendapat, bahwa seorang muhaddits boleh meriwayatkan dengan makna,
tidak dengan lafadz, bila ia memahami bahasa Arab dengan segala seluk-beluknya
dan mengerti makna-makna dan kandungan hadits serta memahami kata yang bisa
merubah makna dan kata yang tidak merubahnya. Bila demikian, ia diperbolehkan
meriwayatkan dengan makna. Karena dengan pemahamannya yang kuat, ia bisa
menghindari perubahan makna dan pergeseran hukum-hukum yang terkandurg
didalamnya. Namun bila perawi tidak mengerti dan tidak memahami kata-kata yang
bisa merubah makna maka ia tidak diperbolehkan meriwayatkan hadits dengan
makna. Tidak ada silang pendapat, tentang kewajiban menyampaikannya riwayat
dengan lafadz seperti yang didengarnya.[30]
Seperti
sudah disinggung dalam pendahuluan dalam studi periwayatan hadist, persoalan
bentuk periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan
masalah tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadist. Dengan
demikian apakah periwayatan suatu hadist harus dengan lafadz (teks) yang persis
disampaikan Nabi SAW ataukah cukup dengan maknanya saja, menjadi isu penting
dikalangan ulama hadist.
1.
Periwayatan Hadist dengan
Lafadz.
Periwayatan
hadist dengan lafadz dimaksudkan adalah periwayatan hadist dengan menggunakan
lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan
pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata. Di antara ulama yang
menekankan periwayatan hadist dengan lafaz dan menolak periwayatan hadist
dengan makna adalah Muhammad ibn Sirin, Abu Bakar al-Razy dan Raja’ ibn
Hayuh.[31] Mereka tidak membolehkan meriwayatkan hadist kecuali dengan
lafadz dari Nabi, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Bahkan ada yang
berpendapat bahwa seorang rawi harus menyampaikan apa yang didengarnya dari
gurunya sekalipun gurunya itu salah atau keliru dalam ejaannya.[32] Ibn
Shalah sebagaimana dikutip dalam Ibn Katsir menyebut mereka sebagai “Madzhab
Pengikut Lafadz yang Ekstrim”.[33]
2.
Periwayatan Hadist dengan
Makna.
Sedangkan
periwayatan dengan makna yaitu meriwayatkan hadist dengan lafadz yang disusun
perawi sendiri sesuai dengan makna yang dicakup oleh ucapan, perbuatan dan
takrir ataupun sifat Nabi.[34] Dan periwayatan hadist bil al-makna yang
diperselisihkan para ulama adalah hadist qauly atau perkataan Rosulullah yang
diriwayatkan oleh para sahabat dengan maknanya saja, tidak sebagaimana
dilafalkan oleh Nabi saw.
Adapaun yang
membolehkan Periwayatan Hadist bi al-Makna memberikan persyaratan khusus,
yaitu: Pertama, Para perawi harus mengetahui secara baik kosa kata bahasa Arab
sehingga ian dapat membedakan mana lafazh yang mendukung makna hadist yang
diriwayatkan dan mana yang tidak, dan bahkan dapat membedakan secara cermat
diantar lafazh-lafazh yang hamir sama dalalahnya.[35] Kedua, perawi
benar-benar lupa lafazh-nya dan ingat maknanya sedang dia harus menyampaikan
hukum yang dikandungnya. Ketiga, lafazh hadist itu bukan lafazh yang bernilai
ibadah seperti adzan, iqamah, tasyahud dasn lain-lain, dan bukan pula merupakan
ajaran yang prinsipil (jawami’ al-kalim) dan Keempat, memang dimugkinkan untuk
mengganti lafazh dengan padanannya (sinonim) yang tidak akan membawa perbedaan
pengertian dari maksud lafazh semula.[36]
Disamping
pendapat diatas ulama Mutaakhirin diantaranya Mahmud ibn Abu Rayyah yang
sebagaimana dikutip Ajaj al-Khatib dalam bukunya Adhawa’ ‘Ala al-Sunnah
al-Muhammadiyah, berpendapat, bahwa; hadist-hadist Rasulullah baru diriwayatkan
oleh sebagian sahabat jauh setelah Nabi wafat. Ia mengakui bahwa bahwa
periwayatan hadist dengan makna tak dapat dihindari. Menurutnya disebabkan
karena perawi tak sanggup lagi mengungkapkan bunyi lafal yang asli sesuai
dengan ucapan Nabi.[37]
Meskipun
demikian, jumhur ulama sepakat tentang perlunya memelihara lafadz hadist dan
nash-nya yang asli seperti yang diucapkan oleh Nabi. Para ulama juga sepakat
tentang tidak bolehnya periwayatan hadist oleh perawi yang tidak mengetahui
secara cermat akan lafadz dan dalalahnya, yang tidak dapat mengungkapkan makna
yang dikandungnya, dan yang tak teliti terhadap perbedaan-perbedaan secara
cermat dari lafadz-lafadz mutaridifat. Jadi mereka menginginkan periwayatan
hadist dengan lafadz asli dari Nabi. Mereka hanya membolehkan periwayatan
dengan makna dengan persyaratan-persyaratan yang ketat.
Dari sini,
jelaslah bahwa orang yang mengerti betul kata-kata yang bisa merubah makna
boleh meriwayatkan hadits secara makna, bila ia tidak ingat kata-kata
persisnya. Karena ia telah menerima kata dan makna. Namun karena ia tidak mampu
menyampaikan salah satunya, maka tidak ada halangan meriwayatkannya secara
makna selama ia aman dari keterpelesetan dan kekeliruan. Bahkan Imam
al-Mawardiy mewajibkan seseorang menyampaikan dengan makna bila ia telah lupa
akan lafadznya. Karena bila tidak, maka ia termasuk menyembunyikan hukum.
Kemudian beliau berkata: Namun bila ia tidak lupa akan lafadznya, maka tidak
boleh baginya menyampaikan selainnya. Karena kalam Nabi SAW mengandung
fashahah yang tidak dimiliki oleh kalam lainnya. Yang memperbolehkan
periwayatan dengan makna hanya memperbolehkannya bagi orang yang benar-benar
mengerti, di samping dengan syarat yang diriwayatkan bukan kata- kata yang
merupakan bacaan ibadah atau ungkapan ungkapan Nabi SAW yang jami’ (padat
makna). Sebenarnya kita juga telah menyaksikan hal itu pada praktek sahabat,
tabi’in dan ahli hadits sesudah mereka. Mereka tidak beralih dari redaksi
aslinya kecuali berkenaan dengan keterangan mengenai keadaan, peperangan
ataupun peristiwa tertentu. Namun demikian, banyak di antara mereka yang sangat
berhati-hati, dan seusai meriwayatkan mereka mengatakan : “au kama qala” (atau
seperti yang disabdakan Nabi), “au nahwa hadza” (او نحو هذا)
atau ungkapan sejenis, atau “au syibhahu” (او شبهه)
(atau ungkapan yang serupa), seperti yang dipraktekkan oleh Abdullah ibn Masud,
Abu ad-Darda’, Anas ibn Malik dan lain-lain. Karena itu, seusai meriwayatkan
hadits harus mengatakan : “au kama qala” (او كما قال)
atau yang sejenis, sebagai sikap hati-hati bila yang diriwayatkannya itu
merupakan riwayat dengan makna.[38]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tahammul
adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan
metode-metode tertentu. Sedangkan Al-‘Ada adalah adalah proses menyampaikan dan
meriwayatkan hadits.
Mayoritas
ulama cendrung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil,
yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak
memperbolehkannya. Ulama yang membolehkan juga masih berbeda pendapat mengenai
batas usia anak boleh diterima periwayatannya, pendapat pertama mengatakan lima
tahun sedangkan pendapat yang kedua mengatakan tamyiz.
Syarat
kelayakan al-Ada adalah: Islam, Baligh, Sifat Adil, Dhabt. Sedangkan metode
dalam tahammul al-ada’ adalah melalui beberapa jalan yaitu as-sima’, al-Qira’ah
‘ala Syaikh, al-Ijazah, al-Munawalah, al-Mukatabah, I’lam asy-Syaikh,
al-Washiyyah, al-Wijadah.
B. DAFTAR
PUSTAKA
‘Ajaj,
Muhammad al-Khatib, Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadits , Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001
Azami, M.M.
Memahami Ilmu Hadist, Terj. Meth Kieraha, Jakarta: Lentera, 1993
Ibn, Al
Hafidz Katsir, Al Baits al-Hatsits fi Ikhtishari ilm al-Hadits, Beirut: Dar
al-Fikr, tt Ismail, M.Syhudi, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi, Jakarta: Bulan
Bintang, 1988
‘Itr,
Nuruddin, Ulum al-Hadits Terj, Mujiyo, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994
Mudasir,
Ilmu Hadist, Bandung: Pustaka Setia, 2005
Poerwadarminta,
WJS, Kamus Umum bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985
Shalih,
Subhi, Ulum al-hadis Wa Musthalahuh. (tt.tt.tt)
Soetari,
Endang, Ilmu Hadist, Bandung: Amal Bakti Press, 1997
Suparta,
Munzier, Ilmu Hadist, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006
Zainimal,
Ulumul Hadist, Padang: The Minangkabau Foundation, 2005
0 komentar:
Posting Komentar